gravatar

AS Harus Mengakui Berdirinya Negara Palestina

"Jika rakyat Palestina melaksanakan rencana mereka untuk mendeklarasikan berdirinya negara Palestina tahun ini, negara AS harus mengakuinya. Tidak ada alasan apapun bagi AS untuk tidak menolaknya," tulis MJ Rosenberg, seorang pengamat kebijakan luar negeri dari lembaga Media Matters Action Network dalam opininya di situs Aljazeera.

Rosenberg menyatakan, sejak pemerintahan Presiden Lyndon B, Johnson, presiden-presiden selanjutnya dari dua partai politik di AS sudah menyatakan dukungannya atas pengembalian daerah pendudukan di Palestina sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian. Tak ada negara, kecuali Israel, yang mengakui daerah pendudukan itu (wilayah Palestina yang dirampas dan dikuasai Israel)--termasuk Yerusalem Timur--sebagai bagian dari Israel. Dan PBB, pihak yang mengeluarkan "akte kelahiran" negara ilegal Israel pada tahun 1947, nampaknya sudah siap untuk melakukan hal yang sama bagi berdirinya Negara Palestina tahun ini.

Menurut Rosenberg, asumsi bahwa berdirinya negara Palestina harus berdasarkan hasil negosiasi Israel dan Palestina tidak berlaku lagi. Wacana negosiasi langsung antara Israel-Palestina sudah masuk "peti mati" dan peti mati itu sudah dipaku rapat-rapat oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan sikap dinginnya menolak tawaran Presiden Barack Obama yang akan memberikan bantuan tambahan sebesar 3,5 juta milyar dollar pada Israel asalkan rezim Zionis itu menghentikan pembangunan pemukimannya di wilayah pendudukan dalam jangka waktu 90 hari.

Netanyahu memang tidak secara tegas menyatakan menolak tawaran Obama itu, dan hanya menggantungnya. Netanyahu menilai tawaran itu sebagai penghinaan terhadap Israel dan untuk itu ia terus mengeluarkan izin pembangunan pemukiman Yahudi di wailayah Palestina dengan cara mengusir warga Palestina. Jelas, Israel ingin "berdamai" dengan Palestina tapi tidak mau membayar mahal harga perdamaian itu. Israel bahkan menolak bernegosiasi soal Yerusalem Timur. Israel bukan hanya ingin tetap mempertahankan pemukiman-pemukimannya di Tepi Barat, tapi juga ingin menguasai tanah dan perkebunan di sekitarnya. Israel juga tidak akan pernah mencabut blokadenya di Gaza dan malah akan mengontrol penuh wilayah Gaza, mulai dari wilayah udara, pelabuhan dan pintu-pintu masuknya.

Tak heran jika Otorita Palestina tidak mau lagi bernegosiasi dengan Israel. Otoritas Palestina menolak bernegosiasi dengan persyaratan yang diajukan Israel, yang berarti "penyerahan diri" Palestina pada Zionis Israel.

Dalam situasi seperti itu, menurut Rosenberg, altenatif penyelesaiannya adalah mendeklarasikan berdirinya negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina. Sebagai kompensasinya, Israel akan mendapatkan pengakuan perbatasan dan jaminan keamanan dari AS--dua hal yang selalu dituntut Israel--dengan syarat keamanan atas negara Palestina juga harus dijamin.

Hal itu sebenarnya sejalan dengan Inisiatif Liga Arab yang ditawarkan pada Israel pada tahun 2002. Dalam Inisiatif itu, Liga Arab menawarkan pengakuan penuh dan normalisasi hubungan dengan Israel sebagai kompensasi atas dideklarasikannya negara Palestina. Tapi Israel menolak Inisiatif itu.

Perubahan-perubuhan yang terjadi dalam konflik Israel-Palestina setelah tawaran-tawaran itu menemui jalan buntu, justru makin memburuk. Peran Gedung Putih yang menunjuk Dennis Ross sebagai penasehat dalam konflik ini membuat situasi makin kisruh karena kebijakan-kebijakan Ross yang ambigu dan cenderung berpihak pada kepentingan Israel. Akibatnya, Palestina merasa perlu untuk menyelesaikan masalah ini menurut cara mereka sendiri, yaitu secara sepihak mendeklarasikan berdirinya Negara Palestina yang meliputi Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dengan restu PBB.

Lebih lanjut Rosenberg menyatakan, pecahnya perang baru (seperti ketika Israel secara sepihak mendeklarasikan berdirinya negara Yahudi yang memicu perang tahun 1948), seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, bisa saja terjadi. Israel tidak akan diam dan kemungkinan akan meniadakan Otorita Palestina, serta mengambil alih kontrol terhadap semua wilayah Palestina dan berkuasa atas seluruh rakyat Palestina.

Kemudian, Palestina akan membawa masalah ini ke PBB dan hanya bisa menuntut hak kewarganegaraan penuh di Israel--bukan menuntut berdirinya negara Palestina--serta hak untuk memberikan suara dalam pemilu. Situasi inilah yang diinginkan Israel, sebuah mayoritas orang Palestina yang berada dalam sebuah negara Yahudi.

Namun Rosenberg menyatakan, jika negara Palestina jadi dideklarasikan, rakyat Palestina harus menggelar pemilu untuk memilih pemerintahan yang baru, apakah itu nantinya akan dibawah pemerintahan Hamas atau Fatah. Tapi yang paling penting, kata Rosenberg, sudah saatnya AS memenuhi janjinya, 44 tahun penjajahan Israel di Palestina sudah cukup. Jika negara Palestina dideklarasikan, tidak ada alasan bagi AS untuk tidak mengakui berdirinya negara Palestina.

sumber : www.eramuslim.com 

Link Sahabat

Kategori

Pengunjung

free counters